Senyum Dede
Suryati (37 tahun) mengembang lebar. ASInya masih keluar, padahal ia sudah
tidak menyusui Muhammad Amanusa Abimanyu (3 bulan) sejak 2 bulan lalu. Meski
begitu, ia masih takut untuk memberikan air susunya kepada anak keempatnya ini.
“Saya takut ASI
saya sudah basi, karena sudah lama tidak menetek,”
ungkap Dede saat bertemu dengan konselor menyusui dari tim UNICEF, Sentra
Laktasi Indonesia (SELASI) dan Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) pada saat
pelaksanaan Posyandu di Pos Pengungsian Dusun Sidera 2, Sigi, pada 16 Januari
2019 lalu.
Elisabethesti
Warudju dan Srinovita Amelia adalah konselor yang mendampingi Dede untuk
kembali bersemangat menyusui anaknya kembali.
“Apakah ASI saya
tidak basi, Bu? Apakah tidak apa-apa menyusu lagi setelah 2 bulan saya berhenti
menyusui? Apa ASI saya masih bagus?” berbagai pertanyaan pun dilontarkan Dede
pada konselor.
Dengan penuh
kesabaran dan semangat positif, Elisabethesti dan Srinovita menjelaskan bahwa
ASI selalu bagus kapanpun. Dede pun dibantu menemukan posisi dan pelekatan yang
tepat saat menyusui lagi pada Abimanyu. Abimanyu pun sempat mau menyusu
kembali.
Abimanyu yang
sudah berusia 3 bulan saat ini, memerlukan susu lebih banyak dibandingkan 2
bulan yang lalu. Sedangkan produksi ASI Dede sudah menurun karena tidak
menyusui 2 bulan ini. Produksi ASI Dede perlu ditingkatkan untuk mengejar
kebutuhan menyusu Abimanyu. Oleh karena itu, Dede pun diberitahu bagaimana cara
meningkatkan produksi ASI. Inti
meningkatkan produksi ASI adalah dengan mempersering keluarnya ASI, bisa dengan
menyusui bayi secara langsung dan juga memerah ASI.
Diimbangi dengan
semangat dan keinginan kuat sang ibu untuk menyusui anaknya, maka menyusui
kembali setelah dua bulan tidak menyusui adalah hal yang sangat bisa terjadi.
Kilas Balik
Dede melahirkan
anak keempatnya dalam segala keterbatasan di pengungsian. Rumahnya rata dengan
tanah, pada saat gempa dan likuefaksi mengguncang Sigi, Palu dan Donggala.
Setelah
melahirkan, ia pun menyusui anaknya. Seperti ia menyusui ketiga anak sebelumnya.
Kemudian Dede
merasa anaknya diare karena BABnya berupa cairan, ia tak pernah membawanya ke
dokter. “Keadaan saat itu sangat sulit untuk konsultasi. Beda dengan saat ini,
saya bisa konsultasi ke dokter,”ujarnya.
“Awalnya saya
hanya coba-coba, karena anak saya waktu itu mencret. Saya berikan susu botol,
dia mau. Setelah 1 minggu saya berikan susu botol, saya coba teteki lagi, anaknya masih mau. Tapi
saya kuatir ASI saya basi, sudah tidak bagus, karena sudah 1 minggu tidak diteteki,”ceritanya ketika ditanya awal
mula memberikan susu formula pada anaknya. Ia menyusui ketiga anak sebelumnya
hingga lebih dari 2 tahun.
Dede tak pernah
membeli susu formula untuk bayinya, hingga saat ini ia selalu mendapatkan dari
donatur/relawan yang datang membawa bantuan. Susu formula awalnya ia terima
dengan botol dan dotnya. Namun, ia tak mendapatkan sikat pembersih. Ia juga
tidak pernah diberitahu cara membersihkan botol dan dot dengan benar. Ia
bersihkan botol dan dot itu, seperti ia mencuci peralatan masak lainnya, dengan
spons, sabun dan air bersih.
Dede tak tahu apa
risiko penggunaan susu formula, botol dan dot. Apalagi dalam keadaan di
pengungsian seperti ini, dimana air bersih tidak mudah didapatkan. Ia hanya
menggunakan susu formula, karena ia diberikan bantuan tersebut. Padahal ia
sebenarnya masih bisa menyusui anaknya.
Dalam keadaan
bencana seperti ini, masih banyak Dede yang lain, seorang ibu yang seharusnya
bisa menyusui bayinya, namun mendapatkan dukungan yang salah. Bantuan yang
salah, menyebabkan bencana lain di tempat bencana. Seorang ibu yang seharusnya
bisa menyusui anaknya secara langsung, menjadi tergoda dengan pemberian susu
formula yang tidak diperlukan.*** (Selvie
Amalia)