Thursday, January 03, 2008

Kupu-kupu dan Kepompongnya

Seperti yang pernah dipelajari dalam pelajaran Biologi SMP maupun SMA, kupu-kupu merupakan makhluk yang melakukan metamorfosis sempurna. Sama seperti katak. Suatu makhluk dikatakan mengalami metamorfosis sempurna adalah ketika bentuk dan perilaku fisik makhluk itu berbeda ketika masih muda dengan usia dewasanya.

Kupu-kupu berasal dari ulat yang berbulu dan terkadang membuat kita gatal ketika menyentuhnya. Ulat sedemikian buruk rupa, hingga tiada yang mau menyentuhnya. Bahkan daripada melihatnya melata, lebih baik membunuhnya. Pak tani pun menyemprot racun untuk membunuh ulat, supaya ulat tidak memakan daun-daun tanaman pak tani. Lebih dari itu, bahkan ada yang sampai phobia pada ulat. Sebegitu buruknya ulat hingga tiada yang mau menerimanya.

Bagaimana dengan kupu-kupu? Kupu-kupu begitu dipuja. Bahkan ada yang bersedia mengeluarkan uang puluhan juta untuk mengkoleksi kupu-kupu yang ia inginkan. Anak-anak menyukai kupu-kupu karena warnanya yang menarik dan membuat mereka harus berlarian untuk mendapatkannya. Orang dewasa pun menyukainya. Terkadang mereka sengaja berburu kupu-kupu. Dengan membawa jaring khusus, mereka pergi ke taman, dimana biasanya banyak kupu-kupu beterbangan. Setelah mendapatkan kupu-kupu dengan sayap yang cantik, maka kupu-kupu itu diawetkan. Disimpan. Dikagumi dan dipamerkan.

Orang senang terhadap kupu-kupu. Akann tetapi orang membenci ulat. Padahal kupu-kupu berasal dari ulat yang menjijikkan itu. Apa yang membuat ulat itu menjadi kupu-kupu yang cantik? Kepompong!

Ya, proses di dalam kepompong itu yang membuat ulat berubah menjadi kupu-kupu yang disenangi banyak orang. Seberapa penting proses itu? Sangat penting! Di situ ulat meneguhkan diri akan menjadi kupu-kupu yang cantik atau tidak. Kepompong bagaikan kawah candradimuka bagi Arjuna. Disini semua bergantung pada dirinya sendiri. Tanpa bantuan!

Ketika masih menjadi ulat, kita bisa memberinya makan berupa daun. Ketika menjadi kupu-kupu, kita bisa menggiringnya ke taman bunga, sehingga dia bisa bermain di mahkota bunga yang jelita dan membantu penyerbukan. Namun, ketika menjadi kepompong, ia terisolir dari dunia luar. Siapapun tak bisa membantunya.

Alkisah ada seorang lelaki yang berjalan-jalan di taman bunga. Ketika sedang memperhatikan sebuah bunga, ia melihat ada kepompong melekat di batang tanaman itu. Ia perhatikan seksama. Kepompong itu sudah mulai terbuka. Ia perhatikan lagi dengan lebih seksama. Lubang di kepompong masih cukup kecil untuk menjadi jalan keluarnya si kupu. "Lama benar kupu-kupunya keluar…" batinnya. Ia tak sabar. Ia ingin segera melihatnya. Lelaki itu memperhatikan lagi. Terlihat kupu-kupu di dalam kepompong berusaha untuk keluar dengan perlahan sekali. “Kasihan ya, dia harus berjuang sendiri dari dalam. Ah, biar cepat dan mudah aku mau bantuin buka kepompongnya.”

Ia membuka kepompong itu pelan-pelan. Apa yang didapati lelaki itu? Kupu-kupu itu tak bisa terbang. Sayap kirinya belum sempurna.

Ah… seandainya saja lelaki itu mau bersabar dan tidak ikut campur, tentu kupu-kupu itu akan muncul dari kepompong dengan sempurna. Ia akan dapat terbang bebas dengan sayap cantiknya. Bunga-bunga pun akan menerima dengan senang hati kedatangannya. Anak-anakpun akan dapat mengaguminya. Sayang, ia takkan bisa bertahan lama. Untuk terbang pun ia tak sanggup, apa lagi mencari makan.

Saya sangat tertarik dengan kisah ini. Betapa niat baik dapat menjadi bencana. Betapa ketidaksabaran dapat berbuah malapetaka. Betapa perjuangan dari dalam harus dilakukan dari dalam. Betapa campur tangan dari pihak luar yang tidak berkompeten akan menghancurkan proses menuju kesempurnaan. Betapa proses menuju yang terbaik harus dilakukan oleh diri sendiri.

Adakalanya lebih baik membiarkan yang di 'dalam' untuk menyelesaikan prosesnya tanpa campur tangan kita. Semisal seorang teman curhat karena sedang berantem dengan pacarnya. Bisa saja, saya menolong dengan berbicara kepada pacarnya, dan mendamaikan mereka. Tapi, apakah itu akan mendewasakan mereka? Tidak. Mereka akan lebih dewasa jika mereka berdamai dengan sendirinya. Saya hanya bisa memberi kata. Saya hanya bisa memberi semangat. Perihal ia mau menyelesaikan atau tidak persoalannya, itu tak bisa saya campuri.

Seandainya saja, lelaki itu memberikan bantuan berupa kata-kata semangat, tanpa ikut campur membuka kepompong. Si ulat mungkin akan mengerti kegalauan lelaki itu. Dan dengan semangat yang diberikan, dan ia akan lebih bersemangat, dan dengan cepat muncul menjadi kupu-kupu yang cantik. Seandainya saja, lelaki itu mau mengerti.***