Bahkan jalan hidup yang kita lalui pun itu pilihan.
Ini kisahku, perjalanan hidup tentang pilihanku.
Saat memutuskan untuk bekerja di Jakarta, itulah pilihan yang kubuat dan bersedia menanggung segala konsekuensinya. 10 tahun berlalu, aku merasa cukup dengan pilihan itu. Aku pun memilih untuk minta pindah kerja di Bogor, dan meninggalkan kesempatan peningkatan karir yang telah di depan mata, itu juga sebuah pilihan. Dan aku juga bersedia menerima seluruh konsekuensinya.
Seluruh pilihan telah ditimbang dengan matang. Saat pilihan dijalankan, ada masa ketika sangat bahagia dan nyaman, ada suatu masa juga timbul ketidaknyamanan. Makna rasa yang dirasakan yang menentukan adalah kita sendiri. Akankah kita memaknai dengan ketidaknyamanan ataupun kesedihan bahkan hingga kekecewaan? Ataukah kita menerima rasa itu, dan mengolahnya menjadi sebuah perasaan bersyukur karena masih diberikan kesempatan, yang mungkin orang lain tidak miliki?
Rumput tetangga lebih hijau dibanding rumput rumah sendiri, itu kata pepatah.
Apakah benar demikian? Kembali kita yang menentukan. Sudut pandang terhadap suatu hal kita sendiri yang menentukan. Itu pilihan.
Bersyukurlah sebagai manusia kita diberi kemampuan untuk memilih. Dan sebelum menentukan pilihan, kita diberikan kesempatan dan kemampuan untuk menganalisa, kurang dan lebihnya sebuah keputusan, baik buruknya, dan berbagai hal yang menjadi pertimbangan. Satu hal yang jangan dilupakan adalah, bahagiakah saat memilih pilihan itu?
Saat ini semua orang memperbandingkan pilihan dirinya dengan pilihan orang lain. Tentu sudut pandangnya tidak bisa disamakan. Inilah yang menimbulkan konflik. Memaksakan sudut pandang diri sendiri untuk orang lain.
Terkadang kita sendiri juga tidak setuju pada diri kita sendiri. Saat akan membuat sebuah pilihan, misalnya ingin makan sate atau soto. Satu pikiran kita ingin makan berkuah, berarti memilih soto. Tapi pikiran yang lain, ingin makanan yang dibakar dan berbumbu kacang.
Nah, diri sendiri saja punya beberapa pertimbangan untuk menentukan sesuatu, apalagi dengan orang lain, yang jelas beda kepala, beda hati, beda karakter.
Apakah pilihan kita kemudian terlihat oleh orang lain bukan yang terbaik, biarkan saja. Yang menjalani adalah kita, bukan orang lain. Jikalau orang lain tersebut kemudian terlibat dalam konsekuensi pilihan yang kita buat, ya biarkan ia memutuskan akan bertindak atau merasa seperti apa. Tapi jangan jadikan hal itu menjadi sumber ketidakbahagiaanmu.
Bahagiamu adalah pilihanmu.
Bersyukur atau menyesal itu adalah pilihan.
Daripada menjalani hidup penuh dengan pikiran dan energi negatif, lebih baik jalani dengan perasaan bersyukur, penuh kasih sayang dan bahagia :)
Salam bahagia,
Selvie
@Bogor