Monday, January 28, 2019

Harapan di Perbukitan Sigi



Senyum Dede Suryati (37 tahun) mengembang lebar. ASInya masih keluar, padahal ia sudah tidak menyusui Muhammad Amanusa Abimanyu (3 bulan) sejak 2 bulan lalu. Meski begitu, ia masih takut untuk memberikan air susunya kepada anak keempatnya ini.

“Saya takut ASI saya sudah basi, karena sudah lama tidak menetek,” ungkap Dede saat bertemu dengan konselor menyusui dari tim UNICEF, Sentra Laktasi Indonesia (SELASI) dan Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) pada saat pelaksanaan Posyandu di Pos Pengungsian Dusun Sidera 2, Sigi, pada 16 Januari 2019 lalu.

Elisabethesti Warudju dan Srinovita Amelia adalah konselor yang mendampingi Dede untuk kembali bersemangat menyusui anaknya kembali.

“Apakah ASI saya tidak basi, Bu? Apakah tidak apa-apa menyusu lagi setelah 2 bulan saya berhenti menyusui? Apa ASI saya masih bagus?” berbagai pertanyaan pun dilontarkan Dede pada konselor.

Dengan penuh kesabaran dan semangat positif, Elisabethesti dan Srinovita menjelaskan bahwa ASI selalu bagus kapanpun. Dede pun dibantu menemukan posisi dan pelekatan yang tepat saat menyusui lagi pada Abimanyu. Abimanyu pun sempat mau menyusu kembali.

Abimanyu yang sudah berusia 3 bulan saat ini, memerlukan susu lebih banyak dibandingkan 2 bulan yang lalu. Sedangkan produksi ASI Dede sudah menurun karena tidak menyusui 2 bulan ini. Produksi ASI Dede perlu ditingkatkan untuk mengejar kebutuhan menyusu Abimanyu. Oleh karena itu, Dede pun diberitahu bagaimana cara meningkatkan produksi ASI.  Inti meningkatkan produksi ASI adalah dengan mempersering keluarnya ASI, bisa dengan menyusui bayi secara langsung dan juga memerah ASI.

Diimbangi dengan semangat dan keinginan kuat sang ibu untuk menyusui anaknya, maka menyusui kembali setelah dua bulan tidak menyusui adalah hal yang sangat bisa terjadi.



Kilas Balik

Dede melahirkan anak keempatnya dalam segala keterbatasan di pengungsian. Rumahnya rata dengan tanah, pada saat gempa dan likuefaksi mengguncang Sigi, Palu dan Donggala.

Setelah melahirkan, ia pun menyusui anaknya. Seperti ia menyusui ketiga anak sebelumnya.

Kemudian Dede merasa anaknya diare karena BABnya berupa cairan, ia tak pernah membawanya ke dokter. “Keadaan saat itu sangat sulit untuk konsultasi. Beda dengan saat ini, saya bisa konsultasi ke dokter,”ujarnya.

“Awalnya saya hanya coba-coba, karena anak saya waktu itu mencret. Saya berikan susu botol, dia mau. Setelah 1 minggu saya berikan susu botol, saya coba teteki lagi, anaknya masih mau. Tapi saya kuatir ASI saya basi, sudah tidak bagus, karena sudah 1 minggu tidak diteteki,”ceritanya ketika ditanya awal mula memberikan susu formula pada anaknya. Ia menyusui ketiga anak sebelumnya hingga lebih dari 2 tahun.

Dede tak pernah membeli susu formula untuk bayinya, hingga saat ini ia selalu mendapatkan dari donatur/relawan yang datang membawa bantuan. Susu formula awalnya ia terima dengan botol dan dotnya. Namun, ia tak mendapatkan sikat pembersih. Ia juga tidak pernah diberitahu cara membersihkan botol dan dot dengan benar. Ia bersihkan botol dan dot itu, seperti ia mencuci peralatan masak lainnya, dengan spons, sabun dan air bersih.

Dede tak tahu apa risiko penggunaan susu formula, botol dan dot. Apalagi dalam keadaan di pengungsian seperti ini, dimana air bersih tidak mudah didapatkan. Ia hanya menggunakan susu formula, karena ia diberikan bantuan tersebut. Padahal ia sebenarnya masih bisa menyusui anaknya.


Dalam keadaan bencana seperti ini, masih banyak Dede yang lain, seorang ibu yang seharusnya bisa menyusui bayinya, namun mendapatkan dukungan yang salah. Bantuan yang salah, menyebabkan bencana lain di tempat bencana. Seorang ibu yang seharusnya bisa menyusui anaknya secara langsung, menjadi tergoda dengan pemberian susu formula yang tidak diperlukan.*** (Selvie Amalia)