Pandemi Covid-19 ini menjadikan tahun 2020 jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Bahkan dengan cara yang tak pernah terpikirkan. Sesuatu yang mungkin sering dilihat di film fiksi sains, dan kemudian benar-benar nyata terjadi di dekat kita.
Dahulu melihat tenaga
medis atau orang-orang menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) lengkap, hanya di
film yang berkisah tentang orang-orang yang bertaruh nyawa menghadapi senjata
biologis yang berbahaya, radiasi nuklir, ataupun kondisi yang belum diketahui
pasti, namun sangat berbahaya dan mengancam jiwa.
Saat ini? Hampir
di fasilitas kesehatan. Bahkan hingga di kota-kota kecil, kita bisa menyaksikan
itu. Dan itu bukanlah film yang setelah kita saksikan selama 2 jam, kemudian
berakhir sedih ataupun bahagia.
Ini sudah
berbulan-bulan. Bahkan sudah hampir satu tahun. Dan, kita tidak ada yang tahu pasti,
kapan ini berakhir.
Semua tak lagi sama.
Terngiang kembali
lagu Padi, Semua Tak Sama, namun dengan konteks yang berbeda. Ya, saat ini dan
ke depan pun, tak akan sama lagi. Kita tak akan pernah bisa kembali ke waktu sebelum
pandemi terjadi.
Berkaca pada waktu
yang telah kita lewati, kita adalah orang merugi jika tak bisa mengambil
hikmah, sekecil apapun. Mulai dari semesta terkecil, diri kita sendiri.
Kemudian semesta berikutnya: keluarga inti.
Dalam jeda sekaligus
perjuangan ini, kita jadi lebih tahu apa kelemahan dan kekuatan kita dalam
tekanan.
Setiap orang
mendapatkan jatah 24 jam yang sama. Namun, penggunaan waktu menjadi terkalkulasi
ulang. Yang biasanya sering keluar rumah dengan berbagai alasan, menjadi berpikir
ulang untuk menggunakan waktu lebih efektif, agar tercapai semua rencana yang
harus dilakukan di luar rumah, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Yang sebelumnya,
waktu habis dalam perjalanan menuju tempat kerja/aktivitas, saat ini waktu itu
bisa digunakan untuk lebih memperhatikan diri sendiri dan keluarga inti. Bisa
jadi lebih produktif dalam bekerja, belajar, atau beraktivitas lain.
Hingga, kita tersadar,
saatnya memperhatikan kesehatan diri. Bukan hanya raga yang terlihat, juga jiwa
yang menjadi penggerak raga ini. Kesehatan jiwa dimulai dengan meningkatkan positive
vibes dalam diri, salah satunya dengan cara bersyukur.
Hal yang paling
mudah disyukuri adalah bersyukur masih bisa bernafas. Dalam setiap tarikan nafas
itu, kita tidak perlu membayarnya. Coba bayangkan jika kita harus membayar
setiap oksigen yang kita hirup?
Rasa syukur berikutnya, yaitu bersyukur masih diberi kesempatan hidup. Bersyukur, masih diberi sehat. Yang sakit pun bersyukur, dengan sakit, diberi waktu untuk istirahat dari rutinitas dan fokus pada diri sendiri. Mungkin dulu kita sering melupakan bahwa diri kita juga perlu diperhatikan.
Cobalah untuk
mensyukuri setiap hal yang dilakukan. Rasanya akan lebih tenang.
Bersyukur bukan
berarti berhenti berusaha. Bersyukur berarti fokus pada apa yang telah kita
miliki ataupun terima, dan bersemangat untuk mengupayakan apapun yang bisa kita
upayakan, tanpa mengandalkan orang lain.
Alasan untuk Hidup
Berlandaskan rasa
syukur, mari kembali berkaca pada waktu yang telah kita lewati. Bagaimana kita
menjalani hidup, hingga alasan kita menjalani hidup dengan semangat setiap
harinya.
Pernahkah kita
sadari, sudah lama kita hidup dalam “ketidaksederhanaan”. Kita selalu merasa
kurang. Kita ingin memiliki dan membeli sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu
kita butuhkan. Karena apa? Karena tuntutan gaya hidup lingkungan sekitar kita.
Sebenarnya, apa
kebutuhan utama manusia untuk hidup? Saya yakin, kita semua tahu. Makan untuk
kebutuhan energi dan juga pembangun tubuh. Pakaian sebagai pelindung badan dari
berbagai cuaca. Tempat tinggal sebagai tempat untuk bernaung dari berbagai
cuaca dan hewan liar, beristirahat setelah berkerja atau beraktivitas.
Pernah ada
pertanyaan: makan untuk hidup atau hidup untuk makan?
Kamu tim yang
mana?
Apapun pilihanmu,
keduanya punya tujuan untuk memenuhi kebutuhan bertahan hidup.
Dan bersyukurlah
saat kebutuhan utama dapat terpenuhi. Sekarang saatnya kembali mengusahakan agar
kebutuhan utama dapat terpenuhi. Kebutuhan sekunder bahkan tersier, bisa
menunggu, saat kita dalam keadaan sehat dan terpenuhi kebutuhan dasarnya.
Bagiku alasan
hidupku adalah hidup yang bermanfaat dan membawa kebaikan untuk lingkungan
sekitarku. Dengan cara apa? Dengan cara yang ku bisa kulakukan, dan semampuku.
Saat ku merasa lelah, akupun mengambil jeda. Bernafas. Memperhatikan kembali kebutuhan
diriku, jiwa dan raga. Saat lelahku hilang, maka aku akan bergerak lagi.
Kalau kamu
bagaimana?